Oleh Pepi Susanti, S.Pd.I

Sebenarnya
dalam struktur kurikulum, sudah ada dua mata pelajaran yang terkait langsung
dengan pendidikan karakter, yaitu pendidikan Agama dan PKn. Kedua mata pelajaran tersebut merupakan mata pelajaran
yang secara langsung (eksplisit) mengenalkan nilai-nilai, dan sampai taraf
tertentu menjadikan peserta didik peduli dan menginternalisasi nilai-nilai.
Pada panduan ini, integrasi pendidikan karakter pada mata pelajaran
selain pendidikan Agama dan PKn yang dimaksud lebih pada fasilitasi
internalisasi nilai-nilai di dalam tingkah laku sehari-hari melalui proses
pembelajaran dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian. Pengenalan
nilai-nilai sebagai pengetahuan melalui bahan-bahan ajar tetap diperkenankan,
tetapi bukan merupakan penekanan. Yang ditekankan atau diutamakan adalah
penginternalisasian nilai-nilai melalui kegiatan-kegiatan di dalam proses
pembelajaran.
Namun demikian
pembinaan watak melalui kedua mata pelajaran tersebut belum membuahkan hasil
yang memuaskan karena beberapa hal. Pertama
: kedua mata pelajaran tersebut cenderung sekedar membekali pengetahuan
mengenai nilai-nilai melalui materi / substansi mata pelajaran. Kedua: Kegiatan pembelajaran pada
kedua mata pelajaran tersebut pada umumnya belum memadai mendorong
ter-internalisasinya nilai-nilai karakter pada diri siswa sehingga siswa dapat berperilaku
dengan karakter yang baik. Ketiga : Menggantungkan pembentukan
watak siswa melalui kedua mata pelajaran itu saja tidak mencukupi.
Merebaknya isu-isu
moral dikalangan remaja saat ini seperti penggunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang (narkoba), tawuran pelajar, pornografi, dan lain-lain. Keadaan ini
sudah menjadi masalah yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Melihat beberapa kasus pelanggaran akhlak yang terjadi pada peserta didik
tersebut tampak jelas tidak tertanamnya dengan baik mana akhlak yang mesti
dijadikan karakter dan mana akhlak yang terlarang.
Realitas tersebut
mendorong timbulnya berbagai gugatan terhadap efektifitas pendidikan agama
selama ini. Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengemban peran
pusat pengembangan ilmu dan SDM. Nilai-nilai agama hanya dihafal sehingga hanya
berhenti pada ranah kognitif, tidak menyentuh pada aspek afeksi dan
psikomotorik.
Untuk membangun
karakter banyak komponen yang harus dilibatkan, dalam hal ini sekolah sebagai
institusi lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam pembentukan
karakter siswa secara intensif, sehingga
karakter tersebut wujud dalam kepribadian/adab siswa.
Membangun karakter
siswa atau peserta didik tidaklah semudah membangun rumah, jembatan atau gedung
bertingkat, karena membangun karakter adalah bentuk hakekat jiwa seseorang yang
terus berkelanjutan agar terus menjadi lebih baik dan mulia. Untuk itu
pendidikan karakter harus mengarah kepada pembiasaan dan pengkondisian siswa
kepada nilai-nilai agama.
Sebagaimana pendapat
Muhammad Kosim “Hakikat pendidikan karakter adalah penanaman nilai, membutuhkan
keteladanan dan harus dibiasakan bukan diajarkan”, begitu juga pendapat Abuddin
Nata yang menyatakan “ Pembentukan karakter dilakukan dengan asumsi bahwa akhlak
adalah hasil pembinaan bukan terjadi dengan sendirinya”, sementara Lickona
mengungkapkan “Good character consist of knowing the good, desiring the
good, and doing the good”. Menurut Lickona karakter yang baik itu terdiri
dari mengetahui hal-hal yang baik, memiliki keinginan berbuat baik dan
melaksanakan yang baik. Bahkan menurut Ulil Amri Syafri karakter seorang
manusia sangat erat kaitannya dengan agama.
Secara umum kegiatan keagamaan tersebut menyangkut segala
kegiatan yang mengandung nilai-nilai religiusitas dan bertujuan dalam rangka
untuk mempertebal keyakinan dan keimanan seseorang kepada Allah SWT,
meningkatkan ibadah serta menanamkan nilai-nilai akhlak mulia dalam kehidupan
sehari-hari.
Beberapa kegiatan keagamaan yang dapat dilakukan di lingkungan sekolah, antara lain: shalat
berjamaah, tilawah Al-Qur`an, tahfiz, membaca do'a, membaca Asmaul Husna, mengucapkan dan menjawab salam, infak dan sodaqoh, menjaga
kebersihan, berperilaku jujur, adil, memanfaatkan waktu luang untuk kebaikan,
tolong menolong dan hormat antar sesama. Sekolah harus menciptakan budaya agamis, mulai dari penampilan profil
fisik sekolah sampai kepada situasi kehidupan antar sesama guru, antar siswa,
guru dengan siswa, dengan pegawai, juga dengan lingkungan.
Guru merupakan unsur yang sangat berperan fundamental dalam pelaksanaan
kegiatan keagamaan, karena itu guru hendaknya dapat melibatkan dirinya
semaksimal mungkin secara aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan seperti
selalu aktif dalam pelaksanaan shalat berjama’ah, aktif dalam mengikuti kegiatan muhadaroh atau ceramah
agama, aktif dalam pelaksanaan Peringatan Hari-hari Besar Islam (PHBI), dan
tentunya keaktifan di dalam kegiatan sosial seperti gotong royong, menyantuni
fakir miskin dan lain sebagainya. Guru harus menjadi uswatun hasanah
bagi peserta didik dalam mengaplikasikan nilai-nilai karakter, baik itu
kejujuran, kedisiplinan maupun nilai-nilai kebaikan lainnya.
Melalui keteladanan, pembiasaan, dan pengkondisian diharapkan kegiatan
keagamaan di sekolah dapat menjadi solusi dalam menginternalisasikan nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia pada diri siswa sehingga terwujud dalam perilaku siswa sehari-hari
baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat.
1 Comments for "Kegiatan Keagamaan di Sekolah dalam Membangun Karakter Siswa"
BetMGM Casino in Arizona Launches Multi-Year - JDH Hub
BetMGM is excited to announce 용인 출장마사지 that 서산 출장안마 MGM 사천 출장샵 National Harbor has to partner with a large 양주 출장샵 online gambling operator. 제주 출장안마