Berikut ini kami cuplikkan tulisan Anas Burhanudin, M.A. (Mahasiswa S3
Universitas Islam Madinah) mengenai pemberantasan terorisme di Arab Saudi. Ia
menceritakan pengalamannya selama berdomisili di negeri petro dolar tersebut, bagaimana pemerintahan
monarki itu memberantas terorisme. Sengaja Arab Saudi kami jadikan role
model, karena negara ini telah berhasil melaksanakan deradikalisasi secara
efektif, sebagaimana diakui oleh ketua BNPT, Ansyaad Mbai.
Aksi Terorisme di Arab Saudi
Pada 12 Mei 2003, dunia dikejutkan dengan
peristiwa peledakan besar di ibukota Arab Saudi. Pemboman terjadi
beriringan di tiga kompleks perumahan di kota Riyadh, dan mewaskan 29 orang,
termasuk 16 pelaku bom bunuh diri dan melukai 194 orang. Pemboman di Wadi Laban
(Propinsi Riyadh) pada 8 November 2003 menewaskan 18 orang dan melukai 225 orang.
Pada 21 April 2004, sebuah bom bunuh diri meledak di Riyadh dan menewaskan 6
orang dan melukai 144 orang lainnya. Sementara pada 1 Mei 2004, 4 orang dari
satu keluarga menyerang sebuah perusahan di Yanbu’ dan membunuh 5 pekerja bule,
dan melukai beberapa pekerja lain. Saat dikejar, mereka membunuh seorang
petugas keamanan dan melukai 22 lainnya.
Harian Asharq al-Awsath telah
merangkum peristiwa yang berhubungan dengan terorisme di Arab Saudi dalam
setahun sejak pemboman 12 Mei 2003, dan melihat daftar panjang peristiwa itu,
barangkali bisa dikatakan bahwa tidak ada negara yang mendapat ancaman teror
sebesar dan sebanyak Arab Saudi (Harian Asharq al-Awsath edisi 9297, 12 Mei
2004). Dari sini dapat kita ketahui bahwa negara “Wahabi” ini tidak
mengimpor ideologi terorisme, karena mereka pun menjadi target utama para
teroris.
Para teroris juga telah berulang kali
menyerang petugas keamanan. Sudah banyak petugas keamanan yang menjadi korban
aksi mereka. Sudah tidak terhitung lagi aksi baku tembak antara teroris dengan
petugas keamanan. Kota suci Mekah dan Madinah pun tidak selamat dari aksi-aksi
ini.
Tapi, tampaknya hal itu sudah menjadi masa
lalu. Isu terorisme di Arab Saudi dalam beberapa tahun belakangan didominasi
oleh keberhasilan pemerintah menggagalkan aksi-aksi mereka,
penyergapan-penyergapan dini, sadarnya para da’i-da’i aksi terorisme, dan
taubatnya orang-orang yang pernah terlibat aksi yang mengerikan tersebut.
Di samping itu, ada kampanye besar-besaran
melawan terorisme yang dilakukan pemerintah melalui berbagai media massa,
penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar, khutbah dan ceramah, sehingga saking gencarnya
barangkali terasa membosankan. Selain petugas keamanan yang telah bekerja keras,
ada satu lembaga yang menjadi primadona dalam kampanye penanggulangan terorisme
di Arab Saudi, yaitu Lajnah al-Munashahah (Komite Penasihat).
Apa itu Lajnah al-Munashahah?
Lajnah al-Munashahah yang berarti Komite
Penasihat mulai dibentuk pada tahun 2003 dan bernaung dibawah Departemen
Dalam Negeri (di bawah pimpinan Deputi II Kabinet dan Menteri Dalam
Negeri, Pangeran Nayif bin Abdul Aziz rahimahullah) dan Biro Investigasi
Umum. Tugas utamanya adalah memberikan nasihat dan berdialog dengan para terpidana
kasus terorisme di penjara-penjara Arab Saudi. Lajnah al-Munashahah memulai
aktivitasnya dari Riyadh sebagai ibukota, kemudian memperluas cakupannya ke
seluruh wilayah Arab Saudi [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Dirjen Penyuluhan dan
Pengarahan Kemendagri Arab Saudi di Harian al-Riyadh edisi 13.682].
Lajnah al-Munashahah terdiri dari 4 komisi,
yaitu:
1. Lajnah ‘Ilmiyyah (Komisi Ilmiah)
yang terdiri dari para ulama dan dosen ilmu syariah dari berbagai perguruan
tinggi. Komisi ini yang bertugas langsung dalam dialog dan diskusi dengan para
tahanan kasus terorisme.
2. Lajnah Amniyyah (Komisi Keamanan) yang
bertugas menilai kelayakan para tahanan untuk dilepas ke masyarakat dari sisi
keamanan, mengawasi mereka setelah dilepas, dan menentukan langkah-langkah yang
diperlukan jika ternyata masih dinilai berbahaya.
3. Lajnah Nafsiyyah Ijtima’iyyah (Komisi
Psikologi dan Sosial) yang bertugas menilai kondisi psikologis para tahanan dan
kebutuhan sosial mereka .
4. Lajnah I’lamiyyah (Komisi Penerangan)
yang bertugas menerbitkan materi dialog dan melakukan penyuluhan masyarakat [Markaz
Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su'ud ‘Abdul Aziz Kabuli, Harian al-Wathan
edisi 3.257].
Teknik Dialog
Hampir tiap hari Lajnah al-Munashahah
bertemu dengan para tahanan kasus terorisme. Kegiatan memberi nasihat ini
didominasi oleh dialog terbuka yang bersifat transparan dan terus terang.
Sesekali dialog tersebut diselingi dengan canda tawa yang mubah (bersifat
diperbolehkan syariat) agar para tahanan merasa tenang dan menikmati dialog.
Ada juga kegiatan seminar ilmiah berupa
penataran di kelas-kelas dengan kurikulum yang menitikberatkan pada penjelasan
pemikiran menyimpang para tahanan, seperti masalah takfir (vonis
kafir), wala’ wal bara’ (loyalitas keagamaan), jihad, bai’at,
ketaatan kepada pemerintah, perjanjian damai dengan kaum kafir, dan hukum keberadaan
orang kafir di
Jazirah Arab [Taqrir: Markaz Muhammad bin Nayif lir Ri'ayah asy-Syamilah wal
Munashahah, assakina.com, Markaz Muhammad bin Nayif lil Munashahah, Su'ud
‘Abdul ‘Aziz Kabuli, Harian al-Wathan edisi 3.257].
Kegiatan dialog biasanya dilakukan setelah
maghrib dan kadang berlangsung sampai larut malam. Agar efektif, dialog tidak
dilakukan secara kolektif, tapi satu per satu. Hanya satu tahanan yang diajak
berdialog dalam setiap kesempatan agar ia bisa bebas dan leluasa berbicara, dan
terhindar dari sisi negatif dialog kolektif.
Pada awalnya, banyak tahanan yang takut
untuk berterus terang mengikuti program dialog ini, karena mereka menyangka
bahwa dialog ini adalah bagian dari investigasi dan akan berdampak buruk pada
perkembangan kasus mereka. Namun begitu merasakan buah manis dialog, mereka
sangat bersemangat dan berlomba-lomba mengikutinya [Wawancara Dr. Ali
an-Nafisah, Harian al-Riyadh, edisi 13.682].
Mereka segera menyadari, bahwa dialog ini
justru menguntungkan mereka. Sebagian malah meminta agar mereka sering diajak
dialog setelah melihat keterbukaan dalam dialog dan penyampaian yang murni
ilmiah (dipisahkan dari investigai kasus) dan bermanfaat dalam meluruskan
pemahaman salah (syubhat) yang melekat pada pikiran mereka. Rupanya, mereka
telah menemukan bahwa ilmulah obat yang mereka cari, dan mereka pun dengan
senang hati mereguknya [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian al-Riyadh, edisi
13.682].
Pada umumnya, mereka memiliki tingkat
pendidikan rendah, tapi memiliki kelebihan pada cabang ilmu yang mereka minati.
Mereka –yang sekitar 35 % pernah tinggal di wilayah konflik- mudah
termakan oleh pemikiran dan fatwa yang menyesatkan. Ketika dihadapkan pada
ulama yang mumpuni dan memiliki ilmu yang benar, mereka menyadari kesalahan
pemahaman mereka. Melalui dialog ini, Lajnah al-Munashahah menjelaskan
pemahaman yang benar terhadap dalil, membongkar dalil-dalil yang dipotong atau
nukilan-nukilan yang tidak amanah [Wawancara Dr. Ali an-Nafisah, Harian
al-Riyadh, edisi 13.682].
Setelah mengetahui kebenaran yang
sesungguhnya, banyak tahanan yang menyatakan bahwa selama ini seolah-olah
mereka mabuk. Banyak yang mengaku bahwa mereka mulai mengenal pemikiran
terorisme dari kaset-kaset “Islami” (tentu saja Islam berlepas diri darinya), ceramah-ceramah
yang menggelorakan semangat dan menyentuh emosi keagamaan mereka, juga
fatwa-fatwa penganut terorisme. Tambahan gambar-gambar, cuplikan-cuplikan
audio-visual, dan tambahan efek pada kaset dan video ikut
berpengaruh memainkan perasaan. Hal ini jika tidak dikelola dengan baik bisa
menjadi badai yang berbahaya.
Rekaman-rekaman seperti inilah sumber
‘ilmu’ mereka, dan oleh karenanya disebarkan dengan intens di internet oleh
pengusung pemikiran teror. Setelah mereka jatuh dalam perangkap pemikiran ini,
biasanya mereka dilarang untuk mendengarkan siaran radio Alquran al-Karim,
radio pemerintah yang didukung penuh oleh para ulama besar Arab Saudi. Hal ini
dimaksudkan untuk memutus akses para pemuda ini dari para ulama [Taqrir: Markaz
Muhammad bin Nayif lir Ri'ayah asy-Syamilah wal Munashahah, assakina.com,
Wawancara Dr. Ali an-Nafisah di Harian al-Riyadh edisi 13.68].
Penutup: Bagaimana dengan Indonesia?
Banyak kesamaan antara Indonesia dan Arab Saudi. Keduanya adalah negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan pemerintahnya sama-sama divonis kafir oleh para pengusung paham terorime. Para tokoh teror Indonesia juga banyak terpengaruh oleh para tokoh takfiri dari dunia Arab, yang banyak ditemui di wilayah-wilayah konflik dunia. Bagaimanapun, bangsa Arab tetap paling berpengaruh dalam ilmu agama Islam, baik ilmu yang benar ataupun yang salah. Karena itu, apa yang telah berhasil dipraktikkan di Arab Saudi insya Allah juga akan berhasil di Indonesia.
Pemerintah RI perlu belajar dari keberhasilan ini dan mentransfernya ke bumi pertiwi, agar terorisme yang telah merusak citra Islam segera hilang atau paling tidak bisa ditekan secara berarti. Pemikiran harus dilawan dengan pemikiran, bukan dengan peluru!
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
_________________________________________________
Dikutip dari Artikel http://www.konsultasisyariah.com/berdialog-dengan-teroris/#axzz26Iq5XLDK
Sumber: Majalah As-Sunnah, Edisi 3
Tahun XV Juli 2011