HADIS
MUKHTALIF
DAN
HADIS TANAWU’ AL IBADAH
SERTA
METODE PEMAHAMANNYA
A. Pendahuluan
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis
Nabi merupakan sumber dan dasar hukum Islam sesudah Alquran, dan umat Islam
diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti Alquran.[1]
Banyak ayat Alquran dan hadis yang menerangkan
kedudukan hadis dalam Islam, kedudukannya merupakan penjelas bagi al-Quran.
Umat Islam tidak bisa menerapkan ajaran dari al-Quran tanpa petunjuk secara
rinci dari hadis. Berbagai ibadah utama dalam Islam perintahnya ada dalam
al-Quran, seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain. Perintah itu berbentuk
umum, sementara hadis datang dengan rincian yang jelas. Hadis sangat diperlukan
untuk dapat mengamalkan ajaran Islam secara sempurna. Pengamalan perintah
al-Quran
tidak bisa terlepas dari hadis seperti ibadah
shalat lima waktu perintahnya terdapat dalam al-Qur’an, teknis pelaksanaanya
hadis yang menjelaskan.
Namun
dalam perkembangannya terdapat beberapa hadis yang riwayat-riwayatnya antara satu dengan yang lainnya tampak berbeda
atau bahkan tampak saling bertentangan, misal saja ditemukan hadis dengan
ketentuan hukum yang membolehkan atau bahkan memerintahkan. Sedangkan dipihak
lain ditemukan pula hadis dengan ketentuan hukum yang melarang.
Adanya hadis-hadis mukhtalif (bertentangan) maupun
tanawwu’ (beragam) menyangkut suatu masalah tertentu, secara praktis, hal ini
dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran ( ketentuan
hukum) yang mengatur masalah tersebut, yang manakah di antaranya yang harus
diikuti dan diamalkan - seperti, yang memerintahkan atau yang melarang -
apabila cara-cara penyelesaian dari perbedaan ataupun pertentangan yang tampak
di antara hadis-hadis tersebut tidak diketahui dengan baik. Supaya kita tidak
terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita
perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan hadis tanawwu’
al-ibadah serta metode
pemahamannya.
B. Pengertian Hadis Mukhtalif
Secara etimologis, kata mukhtalif merupakan kosa kata bahasa
Arab yang berbentuk isim fa’il dari kata ikhtalafa yang memiliki
arti “berlawanan atau lawan dari kesesuaian atau kesepakatan”[2]
Adapun Secara istilah ada beberapa rumusan
defenisi Hadis mukhtalif di antaranya:
1. An-Nawawi
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق
بينهما أو يرجح أحدهم
(Hadis mukhtalif) ialah dua Hadis yang
saling bertentangan pada makna zahirnnya, maka kedua Hadis tersebut
dikompromikan atau di-tarjih (untuk diambil mana yang kuat dari salah
satunya).[3]
2. Tahunuwiy
الحديثان المقبولان المتعارضان في المعنى ظاهرا
ويمكن الجمع بين مدلوليهما بغير تعسف
(Hadis mukhtalif) ialah dua Hadis yang maqbul
saling bertentangan pada makna
zahirnnya, di mana memungkinkan untuk dikompromikan maksud yang dituju oleh
kedua Hadis tersebut dengan cara tidak dipaksakan (tidak dicari-cari).
Sepertinya Tahunuwiy hendak menyuguhkan
penyelesaian Hadis-Hadis mukhtalif dengan cara kompromi saja.
Walaupun demikian, berbeda dengan al-Nawawi, dalam defenisi di atas Tahunuwiy
mensyaratkan Hadis-Hadis mukhtalif adalah Hadis yang maqbul(diterima).[4]
3. Edi Safri
Hadis mukhtalif ialah Hadis shahih atau Hadis
hasan yang secara lahiriyahanya tampak saling bertentangan dengan Hadis
shahih atau Hadis hasan lainnya. Namun, makna yang sebenarnya
atau maksud yang dituju oleh Hadis-Hadis tersebut tidaklah bertentangan
karena satu dengan yang lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan
penyelesaiannya dalam bentuk nasakh atau tarjih .[5]
Didalam defenisinya, Edi Safri menawarkan tiga
cara penyelesaian, yakni kompromi, nashk, dan tarjih .
Dari berbagai pengertian hadis mukhtalif di
atas dapat dipahami bahwa hadis mukhtalif adalah dua buah hadis yang
sama-sama maqbul (hadis shahih atau hadis hasan) yang tampak secara lahiriah
bertentangan namun sebenarnya bukanlah bertentangan dan penyelesaianya dapat
dikompromikan, ditarjih. atau dinasakh
Untuk melakukan kajian mendalam terhadap
hadis-hadis mukhtalif tersebut dibutuhkan suatu ilmu yang disebut dengan Ilmu
Mukhtalif Alhadis.
Para ulama telah mengemukakan beberapa
defenisi tentang ilmu mukhtalif alhadis ini, diantaranya yang
dikemukakan Ajjaj Al-Khatib, ilmu mukhtalif al-hadits adalah ilmu yang
membahas hadis-hadis, yang menurut lahirnya bertentangan, untuk (kemudian)
pertentangan tersebut dihilangkan untuk dapat menemukan pengkompromiannya[6]
Adapun cara-cara pemahaman terhadap
hadis-hadis mukhtalif tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penyelesaian dengan Cara Kompromi
Adapun yang dimaksud dengan metode kompromi
dalam menyelesaikan Hadis mukhtalif ialah menghilangkan pertentangan
yang tampak (makna lahiriyahnya) dengan cara menelusuri titik temu kandungan
makna masing-masingnya sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh satu dengan
yang lainnya dapat dikompromikan. Artinya, mencari pemahaman yang tepat yang
menunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat
diamalkan sesuai dengan tuntutannya. Untuk menemukan benang merah antara
kedua Hadis yang saling bertentangan itu, dapat diselesaikan dengan empat cara,
yaitu:
a. Pemahaman dengan Menggunakan Pendekatan
Kaedah Ushul
Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan
menggunakan pendekatan kaedah ushul ialah memahami Hadis Rasulullah dengan
memperhatikan dan mempedomani ketentuan-ketentuan atau kaedah-kaedah ushul yang
terkait yang telah dirumuskan oleh ulama (ushuliyun). Adapun yang
menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh ialah bagaimana meng-istinbath-kan
hukum dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an maupun Hadis. Untuk
sampai pada hukum-hukum yang dimaksud, maka terlebih dahulu dalil-dalil
tersebut dipahami agar istinbath hukum sesuai dengan yang dituju
oleh dalil. Diantaranya kaedah ushul yang terkait seperti ‘am,
khash, muthlaq,dan muqayyad. Nash yang umum haruslah dipahami dengan
keumumannya selama tidak ada nash lain yang men-takhsishkan-nya, apabila
ada dalil yang men-thakhsish-kannya maka nash tersebut tidak lagi
diberlakukan secara umum. Demikian juga bagi nash yang muthlaq dengan
yang muqayyad.[7]
Sebagai contoh adalah dua Hadis sohih
berikut ini :
لاَ
عَدْوَ وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَّةَ(رواه
البخاري ومسلم) (1)
Tidak ada penularan, tidak ada ramalan jelek,
dan tidak ada reinkarnasi roh ke burung hantu.. (HR.Bukhori-Muslim)
Secara lahiriyah bertentangan dengan hadis :
فِرَّ
مِنَ الْمَجْذُوْمِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ(رواه
البخاري ومسلم) (2)
Larilah dari orang yang berpenyakit lepra
sebagaimana kamu lari dari singa..”. (HR. Bukhori-Muslim)
Para ulama mencoba mengkompromikan kedua hadis
tersebut dengan jalan mentakhsish nash yang umum, dalam hal ini hadis
pertama bersifat umum ditakhsish oleh hadis yang kedua. Jadi seolah-olah Rasul
SAW mengatakan “Tidak ada satu penyakitpun yang menular selain apa yang
telah kami terangkan”[8]
b. Pemahaman Kontekstual
Pemahaman kontekstual yang dimaksud di sini
ialah memahami Hadis- Hadis Rasulullah dengan memperhatikan dan
mengkaji keterkaitannya dengan peristiwa atau situasi yang menjadi
latarbelakang disampaikannya Hadis, dengan memperhatikan asbab
al-wurud Hadis-Hadis tersebut. Dalam kata lain dengan memperhatikan
konteksnya.[9]
Jika asbab al-wurud al-Hadis tidak
diperhatikan, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahmi maksud yang dituju
suatu Hadis sehingga hal ini menimbulkan penilaian yang bertentangan
antara satu Hadis dengan yang lainnya. Oleh sebab itu mengetahui konteks Hadis
menjadi hal yang sangat urgen dalam pemahaman Hadis. Jika konteks
suatu Hadis diikutsertakan dalam memahami Hadis-Hadis mukhtalif, akan
terlihat perbedaan konteks antara satu dengan yang lainnya sehingga
pertentangan yang tampak secara lahiriyah dapat dilenyapkan dan
masing-masing Hadis dapat diketahui arah pemahamannya.
Sebagai contoh diambil Hadis tentang
meminang wanita yang telah dipinang orang lain.
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلَا يَخْطُبَ الرَّجُلُ
عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ، أَوْ يَأْذَنَ لَهُ
الْخَاطِبُ(رواه البخاري)
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam melarang menjual barang yang telah ia jual orang lain. Seorang
laki-laki tidak boleh meminang wanita yang telah dipinang saudaranya,
hingga saudaranya itu meninggalkannya atau mengizinkannya (untuk melamarnya)”
(H.R Bukhori)
Hadis lain yang dipandang bertentangan ialah:
عن
فاطمة بنت قيس أن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قال
لها فى عدتها من طلاق زوجها: فإذحللت فأذنيني قالت فلما حللت فأخبرته أن معاوية
وأبا جهم خطباني فقال رسول الله صلعم: اما معاوية فصعلوك لامال له وأما ابوجهم فلا
يضع عصاه عن عاتقه – أنكحي أسامة بن زيد قالت فكرهته فقال إنكحي أسامة فنكحته فجعل
الله فيه خيرا واغتبطت به (رواه البخاري ومسلم)
“ Dari Fatimah binti Qays bahwasanya
Rosulullah Saw berkata kepadanya mengenai masa iddah dari talaq suaminya,
apabila engkau telah habis masa iddah, beritahulah aku. Kata fatimah setelah
habis iddahku, aku pun memberitahu Rosulullah bahwa Mu’awiyyah dan Abu Jahm
meminangku. Kata Rosulullah, Muawiyyah adalah laki-laki miskin, sedang Abu Jahm
adalah laki-laki yang sering memukul istrinya. Oleh karena itu, Nikahlah dengan
Usamah bin Zaid! Kata Fatimah, akan tetapi aku kurang senang kepadanya.” Kata
Rosulullah lagi, “Nikahlah kamu dengan Usamah!” Kata Fatimah, lebih
lanjut, akhirnya akupun menikah dengannya, Allah pun memberkahi pernikahan
kami.”(H.R
Bukhori-Muslim)
Dalam Hadis pertama Rasulullah melarang
meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam Hadis kedua
justeru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn
Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal
ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu
pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks
kedua Hadis tersebut.
Imam Syafi’iy berpendapat bahwa Hadis pertama
tidak bertentangan dengan Hadis kedua karena Hadis pertama berlaku
pada kondisi dan situasi tertentu; tidak berlaku pada situasi dan kondisi
lainnya.[10] Adapun
yang menjadi latar belakang dituturkannya Hadis pertama ialah: Rasulullah
ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima
untuk selanjutanya diteruskan ke jenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi
pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan
tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan
pertama. Inilah yang menjadi konteks Hadis pertama.[11]
Sementara Hadis kedua, berbeda konteksnya
dengan Hadis pertama. Fatimah bint Qais datang kepada Nabi seraya
memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Rasulullah
tidak menyanggah pernyataan ini – sesuai dengan Hadis pertama – karena
Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua
pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta
pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk
Usamah.[12]
Hal ini menggambarkan bahwa konteks Hadis
pertama berbeda dengan konteks Hadis kedua, Hadis pertama kondisi di
mana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima
pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima
pinangan lelaki lainnya. Sementara Hadis kedua kondisi di mana seorang
laki-laki baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian
diterima atau ditolak, maka dalam kondisi seperti ini seorang perempuan boleh
menerima pinangan yang lain dan memutuskan pinangan mana yang akan diterima
atau ditolak.
Lebih lengkap, silahkan kontak admin.
Program Magister (S2) Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Imam Bonjol Padang
[1] Muenzier Suparta, Ilmu Hadis,(Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2006), h 49
[3] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy;
Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: Hayfa Press, 2013), h.
81 mengutip Jalal al-Din Abu
al-Fadhl Abd al-Rahman al-Syuyuthiy, Tadrib al-Rawiy fiy
Syarh Taqrib al-Nawawi, (Bairut: Dar Fikr, 1988), Juz II, h. 196
[4] ibid h 82 , Mengutip Syarf al-Din
‘Aliy al-Rajihi, Mushthalah al-Hadits wa Atsaruh ‘ala al-Dar
al-Lughawiy ‘Inda al-‘Arabiy, (Barut: Dar al-Nahdhat al-‘Arabiyah, tth),
h. 217
[6] Zulheldi, Hadis-hadis yang Bertentangan,(Jakarta:Nuansa
Madani, cet I, Sept 2001), h 31 mengutip Ajjaj Al-Khatib, Ushulul Hadits,
h. 283
[7] Edi Safri, opcit. h. 101
[8] Munzier Suparta, opcit, h 44
[9] Edi Safri, opcit,.. h.
104
[12] Ibid., h. 109
0 Comments for "Memahami Hadis Mukhtalif dan Tanawwu' Al-Ibadah"