Memang benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat
apabila nasihat tersebut bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan
as-Sunnah. Namun, sebuah nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru akan
membawa malapetaka dan kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah
nasihat, melainkan bisikan-bisikan dan was-was setan. Masalahnya, apakah sebuah
nasihat hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja dan tidak mungkin
dilakukan oleh kaum wanita?
Kisah berikut ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun
dapat memberikan andil dalam memberikan nasihat dan amar ma’ruf nahi
munkar sesuai dengan kemampuan mereka. Semoga bermanfaat.Allahul-Muwaffiq.
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’, dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa’, dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,
‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil ada seorang
laki-laki yang faqih, ‘alim, abid, dan mujtahid.Dia
memiliki seorang istri yang sangat ia kagumi dan cintai. Lalu
meninggallah sang istri tersebut, sehingga membuat hatinya sangat
sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut, sampai-sampai
ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus segala hubungan
dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat bertemu dengannya.
Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita
tersebut, maka dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada
manusia, “Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin
mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung dengannya.”
Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia
tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim. Dia berujar,
‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru,
‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan
fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya
melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi,
manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di
depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah dia masuk.’ Lalu,
wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang kepadamu karena suatu
pemasalahan.’ Sang Alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’ Wanita memaparkan,
“Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu tetanggaku dan aku
selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu suatu ketika mereka
mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali barang itu kepadanya?’
Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada mereka.’
Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’
Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali barang
yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’ Lalu, wanita itu
mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu.
Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah
dititipkan AllahSubhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa
Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak untuk
mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang Alim atas
peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam
Malik dalam al-Muwaththa’ dalam kitab al-Jana’iz Bab
Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau
terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai
kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”
Mutiara Kisah
Beberapa
pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di atas adalah:
1. Terkadang seorang ahlul ilmi dapat
lupa dan lalai dari ilmu yang selama ini ia ajarkan. Sebagaimana kisah Sang
Alim yang faqih di atas, dia telah lupa terhadap apa yang selama ini
selalu dia ajarkan tentang wajibnya seorang untuk tetap bersabar di kala
terkena musibah.
2. Kewajiban bagi para ahlu
ra’yi dan yang siapa saja yang memiliki pemahaman, hendaklah mengingatkan
saudaranya yang lain dari hal-hal yang terkadang terlalaikan darinya. Dan hal
ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, melainkan kaum
wanita pula apabila memang memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Tentunya hal
itu dilakukan apabila aman dari fitnah dan tidak melanggar larangan dan
keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah dilakukan oleh
wanita dalam kisah di atas yang dapat menyadarkan kembali seorang alim yang
tengah lalai dari peristiwa besar yang menimpanya.
3. Ilmu dan pemahaman adalah
titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki dan wanita, karena ilmu
bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja. Kaum wanita pun berhak
mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian yang terjadi pada diri
seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui hukum-hukum syariat. Thaharoh (bersuci),
mendidik anak, dan lain-lain adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu
dan pemahaman yang benar.
4. Pentingnya membuat suatu
permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan, karena sebuah contoh dapat
menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas. Dan ini pulalah metode
al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan. Perhatikanlah ayat Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang menjelaskan tentang kalimat tauhid dan kalimat-kalimat
kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman,
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat: Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon
yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak
dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim: 24-26).
5.
Disenangi menghibur manusia dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang
terdahulu dan kisah-kisah berharga yang sarat dengan pelajaran. Terlebih
apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian dengan keadaan orang yang sedang
diberi nasihat, karena metode yang demikian akan lebih menggugah hatinya dan
menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia dapat terhibur dan mengambil
pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Wallahu A’lam.
____________________________________
Dikutip dari Artikel www.KisahMuslim.com
Dikutip dari Artikel www.KisahMuslim.com
Sumber:
Majalah Al Furqon, Edisi 4 th. ke-8 1429 H/2008
0 Comments for "Nasihat Seorang Wanita Kepada Sang Alim"