Dikisahkan oleh Syaikh Dr. Muhammad al-‘Arifi
Aku pernah diundang di malam Ramadhan dua tahun yang lalu untuk menjadi
pembicara dalam satu siaran
live di salah satu siaran televisi. Siaran kala itu berkisar tentang ibadah pada bulan Ramadhan. Siaran itu dilakukan di Makkah al-Mukarramah pada satu kamar di salah satu hotel yang bisa melongok di atas Masjidil al-Haram.
live di salah satu siaran televisi. Siaran kala itu berkisar tentang ibadah pada bulan Ramadhan. Siaran itu dilakukan di Makkah al-Mukarramah pada satu kamar di salah satu hotel yang bisa melongok di atas Masjidil al-Haram.
Kala itu, kami berbicara tentang Ramadhan. Para pemirsa televisi bisa
melihat dari sela-sela jendela kamar di belakang kami pemandangan orang-orang
yang umrah dan thawaf secara langsung.
Kala itu pemandangannya sungguh mengagumkan dan mengharukan, membuat pembicaraan pun semakin berkesan. Hingga pembawa acara menjadi lembut hatinya, dan menangis di tengah halaqah itu. Sungguh suasana itu adalah suasana keimanan, dan tidak merusak suasana itu kecuali salah satu kameramen.
Dia memegang kamera dengan satu tangan, dan tangan yang kedua memegang “Tuhan
Sembilan Senti” -menurut istilah
Penyair Taufik Ismail-, yaitu rokok. Seakan-akan
tidak ada satu waktu yang tersia-siakan dari malam bulan Ramadhan kecuali dia
kenyangkan paru-parunya dengan asap rokok.
Hal ini banyak menggangguku. Penghisap rokok itu benar-benar mencekikku,
tetapi harus bersabar, karena itu adalah siaran langsung, dan tidak ada alasan,
kecuali terpaksa melaluinya. Berlalulah satu jam penuh, dan berakhirlah kajian
itu dengan salam.
Kameramen itu pun mendatangiku –sementara rokok masih ada di tangannya-
sembari dia mengucapkan terima kasih dan memuji. Maka kukeraskan genggaman
tanganku dan kukatakan,
‘Anda juga, saya berterima kasih atas keikutsertaan Anda dalam menyuting
acara keagamaan ini. Saya memiliki satu kalimat, barangkali Anda mau
menerimanya.’
Dia pun menjawab,
‘Silahkan… silahkan.”
Kukatakan,
‘Rokok dan siga…” (maksudku sigaret),
namun dia memutus pembicaraanku seraya berkata,
‘Jangan menasihatiku… demi Allah, tidak ada faidahnya wahai syaikh.’
Kukatakan,
‘Baik, dengarkan saya… Anda tahu bahwa rokok haram, dan Allah
berfirman…’
Dia pun memotong pembicaraanku sekali lagi,
‘Wahai Syaikh, janganlah menyia-nyiakan waktu Anda… saya telah
merokok selama 40 tahun… rokok telah mengalir dalam urat nadi saya… tidak ada
faidah… selain Anda lebih pandai lagi..!!
Kukatakan,
‘Apa yang ada faidahnya?’
Dia pun merasa tidak enak dariku lalu berkata,
‘Do’akanlah saya… do’akanlah saya.’
Maka akupun memegang tangannya seraya berkata, ‘Mari bersama saya..’
Kukatakan, ‘Mari kita melihat kepada Ka’bah.’
Kukatakan, ‘Mari kita melihat kepada Ka’bah.’
Maka kamipun berdiri di sisi jendela yang bisa melongok di atas
al-Haram. Dan ternyata setiap jengkal dipenuhi dengan manusia. Antara yang
ruku’, sujud, yang sedang umrah, dan sedang menangis. Sungguh pemandangan yang
sangat mengesankan.
Kukatakan,
‘Apakah Anda melihat mereka?’
Dia menjawab,
‘Ya.’
Kukatakan,
‘Mereka datang dari setiap tempat, yang putih, yang hitam… orang Arab
dan ‘ajam… yang kaya dan miskin… semuanya berdo’a kepada Allah agar menerima
ibadah mereka dan mengampuni mereka…’
Dia menjawab,
‘Benar… benar…’
Kukatakan,
‘Tidakkah Anda menginginkan Allah memberikan kepada Anda apa yang Dia
berikan kepada mereka?’
Dia menjawab,
‘Ya… tentu saja.’
Kukatakan,
‘Angkatlah tangan Anda, saya akan berdo’a untuk Anda…
dan aminilah do’a saya.’ Akupun mengangkat kedua tanganku lalu kukatakan,
‘Ya Allah, ampunilah dia…’
Dia berkata,
‘Aamiin.’
Aku berdo’a,
‘Ya Allah, angkatlah derajatnya, dan kumpulkanlah dia bersama dengan
orang-orang yang dikasihinya di dalam sorga… ya Allah…’
Dan tidak henti-hentinya aku berdo’a hingga hatinya lembut dan menangis…
seraya mengulang-ulang,
‘Aamiin… aamiin…’
Tatkala aku ingin menutup do’a kukatakan,
‘Ya Allah, jika dia meninggalkan rokok, maka kabulkanlah do’a ini,
jika tidak, maka haramkan dia atas terkabulnya do’a ini.’
Maka pecahlah tangisan laki-laki tersebut, sembari menutupi wajahnya
dengan kedua tangannya dan keluar dari kamar tersebut.
Berbulan-bulan telah berlalu, akupun diundang lagi di studio televisi
tersebut untuk melakukan siaran langsung.
Saat aku masuk ke bangunan tersebut, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang tampak taat beragama menemuiku, kemudian dia mengucapkan salam dengan hangat, lalu mencium kepalaku, dan merendah meraih kedua tanganku untuk menciumnya, dan sungguh dia sangat terkesan.
Kukatakan kepadanya,
‘Mudah-mudahan Allah mensyukuri kelembutan dan adab Anda… saya
sungguh menghargai kecintaan Anda… akan tetapi maaf, saya belum mengenal Anda…’
Maka dia berkata,
‘Apakah Anda masih ingat dengan kameramen yang telah Anda nasihati
untuk meninggalkan rokok dua tahun yang lalu.’
Kujawab,
‘Ya…’
Dia berkata,
‘Sayalah dia… demi Allah wahai syaikh… sesungguhnya aku tidak pernah
meletakkan rokok di mulutku sejak saat itu.’
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin
__________________________________________