Hikmah adalah tepat dalam perkataan,
perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya
yang sesuai, dan hal itu tidak akan tercapai melainkan dengan membangunnya di atas pilar-pilarnya, dan pilar yang paling utama -selain bijaksana dan tidak tergesa-gesa- adalah ilmu yang dilandaskan di atas Al Qur’an dan hadits dengan pemahaman generasi terbaik umat ini dan para ulama yang setia meniti jalan mereka. Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salafush shalih.
yang sesuai, dan hal itu tidak akan tercapai melainkan dengan membangunnya di atas pilar-pilarnya, dan pilar yang paling utama -selain bijaksana dan tidak tergesa-gesa- adalah ilmu yang dilandaskan di atas Al Qur’an dan hadits dengan pemahaman generasi terbaik umat ini dan para ulama yang setia meniti jalan mereka. Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salafush shalih.
Contoh pertama, yaitu senantiasa berusaha
untuk berakhlak mulia disamping berusaha untuk beraqidah dengan aqidah yang
benar.
Contoh kedua, yaitu senantiasa berusaha
bermuka manis dan menebarkan salam juga menunaikan hak-hak kaum muslimin,
termasuk mereka yang memiliki penyimpangan –selama tidak disyari’atkan padanya hajr (boikot)-.
Contoh ketiga, yaitu mengenal masyarakat
yang akan kita dakwahi dan mempelajari medan dakwah yang akan kita arungi
sebelum terjun ke dalamnya.
Contoh keempat, yaitu bertahap dalam
berdakwah dengan memulai dari yang paling penting yaitu tauhid, lalu melangkah
kepada syari’at-syari’at Islam lainnya.
Contoh kelima, yaitu hendaknya para da’i
setelah menyampaikan dalil-dalil dari kitab dan sunnah, sebaiknya mereka
berusaha memperbanyak nukilan perkataan ulama Ahlus Sunnah yang memiliki
kedudukan di hati masyarakat umum, misalnya: Imam Syafi’i, Bukhari, Muslim dll,
serta menghindari penyebutan nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim
dan Muhammad bin Abdul Wahhab di komunitas yang phobi dengan nama-nama
tersebut.
Contoh keenam, yaitu hendaknya kita
berusaha untuk menyampaikan dakwah yang penuh berkah ini kepada umat serta
beramar ma’ruf nahi mungkar dengan lemah lembut.
Contoh ketujuh, yaitu berusaha
memprioritaskan dan memperhatikan dakwah dan penarikan hati orang-orang yang
memiliki kedudukan di masyarakat, entah itu yang diulamakan atau penguasa.
Contoh kedelapan, yaitu memperhatikan dakwah generasi muda dan anak-anak kecil, tanpa mengesampingkan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Contoh kedelapan, yaitu memperhatikan dakwah generasi muda dan anak-anak kecil, tanpa mengesampingkan orang-orang yang sudah lanjut usia.
Contoh kesembilan, yaitu menerapkan skala
prioritas dalam mengingkari kemungkaran, dimulai dari yang paling berat lalu
yang lebih ringan.
Contoh kesepuluh, yaitu ketika membantah
ahlul bid’ah, seharusnya kita menghiasi bantahan tersebut dengan ilmu dan
dalil-dalil, sehingga umat merasa yakin akan benarnya hal yang disampaikan,
serta merasa mantap ketika menerimanya.
Contoh kesebelas, yaitu di saat mentahdzir(mengingatkan
umat dari penyimpangan) ahlul bid’ah –baik mereka berbentuk kelompok maupun
individu- seorang da’i ahlus sunnah tidak harus menyebutkan secara
terang-terangan nama-nama kelompok dan individu tersebut, jika memang hal
tersebut tidak dibutuhkan.
Contoh kedua belas, yaitu ketika seorang
da’i ahlus sunnah diundang untuk berdakwah di masjid ahlul bid’ah atau tempat
mereka -dan hal tersebut tidak menimbulkan fitnah bagi masyarakat serta
diharapkan menghasilkan maslahat- maka hendaknya dia memenuhi undangan tersebut
dan memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menyampaikan al-haq dengan
penuh hikmah, nasehat dan diskusi yang baik.
Contoh ketiga belas, yaitu mengamalkan
hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan
oleh agama, dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka
tidak phobi dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak
sesuai dengan yang lebih afdhal. Bahkan terkadang disyari’atkan untuk
meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunnah, untuk menghindari fitnah
(keributan atau huru-hara) atau untuk menarik hati masyarakat.
Contoh keempat belas, yaitu senantiasa
berusaha untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa untuk segera memetik buah dari
dakwah yang sedang kita rintis
________________
Ust Abdullah Zain, Lc