Seseorang yang tidak kunjung menikah, dan pikirannya terlalu
disibukkan dengan hal tersebut dikhawatirkan menjadikan hati malah jenuh dan
berpaling menjadi kegalauan. Sedih ya…kok belum ada juga jodoh yang datang,
sedih ya…teman-teman sebaya, bahkan yang usianya lebih muda telah merasakan
indahnya pernikahan…hingga mencapai kadar galau yang berlebihan, iri terhadap
orang lain, putus asa dan bersempit hati, maka sudah barang tentu hal tersebut
mengancam kesehatan jiwa dan agama seseorang.
Iri terhadap orang lain merupakan suatu hal yang dilarang
dalam Islam, kecuali terhadap dua hal sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا عَلَى اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ الكِتَابَ، وَقَامَ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَرَجُلٌ أَعْطَاهُ
اللَّهُ مَالًا، فَهُوَ يَتَصَدَّقُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
“Tidak ada iri kecuali untuk dua jenis manusia: Seorang yang
Allah berikan kepadanya Al Qur-an (hafal Al Qur-an), membacanya ketika shalat
di waktu malam dan di waktu siang, dan yang kedua adalah seorang yang Allah
berikan padanya harta yang melimpah, lalu dia membelanjakannya dalam ketaatan
baik di waktu malam maupun di waktu siang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iri di sini maksudnya adalah ghibthah, yaitu
berangan-angan agar dapat semisal dengan orang lain tanpa berharap hilangnya
nikmat itu dari diri orang tersebut.
Lantas bagaimana jika ghibthah itu kita tujukan pada pernikahan
teman-teman kita? Maka mungkin perlu kita tinjau ulang hal apa yang membuat
kita iri, jangan-jangan hanya sekedar ingin ikut-ikutan agar senasib dan sama
statusnya dengan teman-teman yang telah menikah, atau iri ingin mendapat suami
yang kaya seperti Fulanah X supaya hidup enak, atau yang populer supaya ikut
populer, atau yang tampan, ningrat dan lain sebagainya tanpa memperhatikan
bagaimana agamanya, maka hal ini tentunya tidak akan membuahkan kebaikan bagi
diri kita.
Sebagaimana diceritakan oleh Sufyan bin Uyainah-seorang ahli
hadits, tentang dua orang saudaranya, Muhammad dan ‘Imran. Saudaranya yang
bernama Muhammad ingin menikahi wanita yang tinggi martabatnya karena motivasi
supaya dirinya dapat meraih martabat yang tinggi, namun justru Allah berikan
kehinaan bagi dirinya. Sedangkan saudaranya yang bernama ‘Imran ingin menikahi
wanita kaya karena motivasi harta wanita tersebut, maka akhirnya Allah pun
menimpakan musibah padanya. Mertuanya merebut semua hartanya tanpa menyisakan
sedikitpun untuknya.
Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
Apakah kita mau merasakan betapa pahitnya nasib kedua saudara ibnu Uyainah ini? Adapun jika niat menikah itu memang baik, maka semoga ghibthah tersebut dapat menjadi motivasi untuk menempuh sebab-sebab syar’i dalam rangka menggapai pernikahan yang Allah ridhai. Imam An-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya At- Tibyan fii Adabi Hamalatil Qur’an berkata, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa,
إنما يعطى الرجل على قدر نيته
“Seseorang diberi sesuai kualitas niatnya.”
Dengan meluruskan niat kita untuk menikah tentu akan membuat
kita senantiasa memperhatikan rambu-rambu syari’at demi terwujudnya keridhaan
Allah Ta’ala, meski Allah mentaqdirkan kita untuk tidak segera menikah.
Mungkin berbagai usaha dan sebab-sebab yang dituntunkan
syari’at untuk mempermudah perjodohan telah dilakukan, namun hambatan dan
kegagalan itu masih menghadang di depan mata, sehingga akhirnya hati pun merasa
sempit dan berputus asa. Dalam keadaan yang demikian ada baiknya kita tengok
kegagalan dari saudari-saudari kita dan renungi betapa apa yang kita alami
tidak seberapa, betapa nikmat Allah yang masih bisa kita rasakan demikian
besarnya dibanding kegagalan untuk segera menikah yang dianggap buruk dalam
pandangan sebagian manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mewanti-wanti kita dalam sabdanya:
انظروا إلى من أسفل منكم، ولا تنظروا إلى من هو
فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Lihatlah orang yang lebih rendah dari kalian, dan jangan
melihat orang di atas kalian, maka itu lebih layak untuk kalian agar tidak memandang
hina nikmat yang Allah anugerahkan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Kalaulah hingga saat ini kita masih menanti jodoh, maka kita
lihat saudari-saudari kita yang jauh lebih dahulu menanti jodoh namun hingga
saat ini masih belum datang juga jodoh yang dinanti. Kalaupun kita pernah gagal
menjalani proses di awal perjodohan, maka ada di antara saudari kita yang gagal
di ambang pintu pernikahan. Kalau ternyata kita termasuk yang merasakan
pahitnya kegagalan di ambang pintu pernikahan, maka bukankah kita masih
merasakan betapa Allah membukakan banyak pintu-pintu kebaikan lainnya untuk
diri kita? Yakinlah bahwasanya pilihan Allah itu lebih baik dari pada pilihan
kita.
Oleh karena itu janganlah sempit hati dan putus asa meliputi
hari-hari kita sampai-sampai kita lupa akan kewajiban kita sebagai seorang
hamba, kewajiban kita terhadap diri kita sendiri, demikian juga kewajiban kita
sebagai seorang anak, atau kewajiban sebagai mahasiswa, bahkan kewajiban
sebagai penghuni kos misalnya. Padahal dengan menunaikan kewajiban, sekalipun
dalam perkara dunia jika kita niatkan untuk meraih ridha Allah maka akan
membuahkan pahala, sebagaimana perkataan sebagian ahli ilmu, “Ibadahnya orang
yang lalai itu bernilai rutinitas, dan rutinitas orang yang berjaga (dari
lalai) itu bernilai ibadah.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H. hal. 13)
Allah Ta’ala juga memerintahkan kita untuk
bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas demi tugas,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ ( ) وَإِلَى رَبِّكَ
فَارْغَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai (dalam suatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Rabb-mu
lah hendaknya kamu berharap.”(QS. Al-Insyirah: 7-8).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan
ayat ini, “Maka jadikanlah kehidupanmu kehidupan yang penuh dengan kesungguhan,
apabila engkau telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan
akhirat, dan jika engkau telah selesai mengerjakan urusan akhirat, maka
kerjakanlah urusan dunia. Jadilah engkau bersama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum
mengerjakan tugas dengan memohon pertolongan-Nya, dan setelah mengerjakan tugas
dengan mengharapkan pahala-Nya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz ‘Amma, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. III, Dar Ats-Tsuraya, th. 1424 H.
hal.255)
Adakalanya kita dapat menepis seluruh kegalauan hati, namun
terkadang juga masih ada keresahan-keresahan yang menyibukkan pikiran kita.
Mungkin hal itu terjadi karena masih adanya waktu luang yang tidak kita
manfaatkan. Jiwa manusia memang senantiasa dalam salah satu dari dua keadaan,
bisa jadi jiwa ini disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, namun jika tidak,
maka jiwa itu justru yang akan menyibukkan pemiliknya. (Nashihaty Linnisaa,
Ummu ‘Abdillah binti Syaikh Muqbil bin Hady Al-Waadi’i, cet. I, Dar Al-Atsar,
th. 1426 H. hal. 20)
Syaikh ‘Abdurrazaaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafidzahullah
memiliki resep jitu yang beliau kumpulkan dari petunjuk Allah Ta’ala dan
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga kondisi keimanan
kita. Beliau menjelaskan sebab-sebab yang dapat meningkatkan iman di
antaranya:
Mempelajari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu agama yang
diambil dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
bisa dengan membaca Al Qur-an dan mentadabburinya, mengenal nama-nama dan
sifat-sifat Allah Ta’ala, merenungi perjalanan hidup nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, merenungi ajaran-ajaran luhur agama ini, membaca perjalanan
hidup salaful ummah, dan lain sebagainya. Namun ilmu itu sendiri bukanlah
tujuan, melainkan sarana agar dapat diamalkan dalam bentuk beribadah kepada
Allah Ta’ala, bukan untuk tujuan lainnya.
Merenungi ayat–ayat kauniyah Allah yang ada pada makhluk-Nya
Bersungguh-sungguh dalam beramal shalih serta memurnikannya
untuk mengharap wajah Allah semata, baik berupa amalan hati, lisan, maupun
anggota badan.
(Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi, ‘Abdurrazaq bin ‘Abdil
Muhsin Al-Badr, cet. II, Maktabah Dar Al-Manhaj, th. 1431 H)
Adapun sebab-sebab yang dapat mengurangi iman dibagi menjadi dua faktor yaitu faktor dari dalam berupa kebodohan, lalai, berpaling dan lupa, mengerjakan maksiat dan berbuat dosa, serta nafsu yang menyeru pada keburukan. Sedangkan sebab dari luar berupa syaitan, dunia dan fitnahnya, serta teman-teman yang buruk. Semoga dengan mengetahui sebab-sebab tersebut, kita dapat lebih waspada dan berusaha mengamalkannya agar terjaga dari keterpurukan iman bagaimana pun kondisi kita. Bukankah gagal menikah masih lebih baik dibanding gagal mengabdikan diri kepada Allah?
Terakhir mari kita renungkan perkataan Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaiminrahimahullah ketika menafsirkan ayat “alam nasyrah laka
shadrak” (Al-Insyirah: 1),
“Manusia yang Allah lapangkan dadanya untuk menerima hukum
kauni, akan engkau dapati dia ridha terhadap ketentuan dan taqdir-Nya, dan
merasa tenang terhadap hal itu. Dia berkata: ‘Aku hanyalah seorang hamba, dan
Allah adalah Rabb yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya, orang yang berada
dalam kondisi seperti ini akan senantiasa dalam kebahagiaan, tidak sedih dan
berduka, dia merasa sakit namun tidak sampai menanggung kesedihan dan duka
cita, dan untuk hal yang demikian telah datang hadits shahih bahwasanya Nabi
shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ
كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ، وَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ،
وَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan keadaan seorang mukmin, sesungguhnya
seluruh perkaranya itu baik, tidak ada yang mendapati keadaan seperti itu
kecuali bagi seorang mukmin, apabila keburukan menimpananya, dia pun bersabar
maka itu menjadi kebaikan baginya, dan apabila kebahagiaan meliputinya, dia pun
bersyukur maka itu menjadi kebaikan baginya.”” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz
‘Amma, hal.247)
___________________________________
Penulis: Ummu Ubaidillah Nirmala Ayuningtyas
Muroja’ah: Ust. Ammi Nur Baits
Muroja’ah: Ust. Ammi Nur Baits
***
Dikutip dari Artikel muslimah.or.id
Dikutip dari Artikel muslimah.or.id
1 Comments for "Menepis Galau Dikala Menjomblo"
Aku galauu... :P hahaha ane juga menjomblo sob. :D
tapi santai ajah mah,, :)