…Wahai saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita semua
Pesan-pesan mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, awalnya ditujukan kepada sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu. Walaupun demikian, sebenarnya juga diperuntukkan bagi seluruh umatnya. Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan keilmuannya. Keseriusan perjuangannya dalam menggapai hidayah adalah contoh dan teladan. Keteguhan beliau dalam memegang keyakinan dan kebenaran adalah figur panutan. Beliau termasuk orang-orang pertama (as-Sabiqunal Awwalun) yang masuk Islam.
Perjalanan jauh ia tempuh, tanpa peduli segala resiko yang bakal terjadi, tetap beliau hadapi. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menuturkan sendiri, “Aku adalah orang keempat dalam Islam. Ada tiga orang yang masuk Islam sebelumku. Ketika itu aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku mengatakan, “Assalamu ‘alaika, wahai Rasullullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.” Aku pun melihat raut muka bahagia terpancar dari wajah suci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah fitrah yang bersih. Senantiasa rindu terhadap kebenaran, ke manapun akan dia cari. Luasnya gurun pasir, teriknya sinar matahari, sedikitnya bekal, dan jauhnya perjalanan tidak menjadi penghalang untuk meraih kebahagiaan hakiki.
Wahai saudaraku di Jalan Allah…
Bila sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini perlu diberi wasiat dan nasihat, maka terlebih lagi kita yang hidup di zaman yang jauh dari masa kenabian, tentu lebih membutuhkan.
Tiga nasihat yang berharga ini adalah faktor utama bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan di dunia yang fana ini dan di akhirat nanti yang kekal abadi. Karena nasihat tersebut mengandung perintah, sebagai wujud penunaian hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dan hak-hak hamba-Nya. Seseorang akan dianggap baik, bila baik dan benar hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan bagus pula muamalahnya terhadap sesama manusia.
Nasihat pertama dan paling utama adalah bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala di manapun berada.
Takwa sebagaimana didefinisikan oleh al-Imam Umar bin Abdul Aziz v, yaitu meninggalkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dan melaksanakan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan. Lebih jelas lagi dengan yang didefinisikan oleh al-Imam Thalq bin Habib v: “Takwa adalah sebuah amal ketaatan kepada Allah di atas cahaya (ilmu) dari–Nya karena mengharap pahala-Nya. Serta meninggalkan kemaksiatan kepada Allah karena takut adzab-Nya didasari atas cahaya (ilmu) dari-Nya.
” Wahai saudaraku, rahimakumullah, ketakwaan yang hakiki tidak bisa diperoleh tanpa didasari dengan ilmu. Dengan ilmu tersebut akan terbedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, perintah dan larangan. Bila takwa sudah menjadi pakaian dan perhiasan bagi kehidupan seseorang, niscaya dia akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan bantuan), orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janjinya -apabila ia berjanji- dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar keimanannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
Wahai saudaraku, barakallahufikum, perhatikan baik-baik ayat Allah subhanahu wa ta’ala yang mulia tersebut. Ternyata takwa bukanlah kata yang sepi dari arti dan bukan pula pengakuan kosong tanpa konsekuensi. Takwa adalah sebuah kata yang sangat luas dimensi cakupannya. Takwa adalah bentuk pengabdian secara vertikal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Bukan orang bertakwa yang hakiki bila di hadapan orang banyak terlihat taat, sementara di kala sepi sendiri dia bermaksiat. Juga bukan yang ketika berada di masjid, sujud, ruku, terlihat khusyu’, sementara tatkala di pasar, di kantor, di tempat kerja dan tempat-tampat lainya, melanggar batasan syari’at.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bertakwa dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya Allah subhanahu wa ta’ala ditaati dan tidak dimaksiati, disyukuri (nikmatnya) dan bukan diingkari, selalu diingat dan jangan dilupakan (dalam situasi dan kondisi apapun, baik di saat senang dan lapang ataupun dalam kondisi sedih dan sempit, pen.)."
Wahai saudara-saudaraku seiman…
Inilah sebagian rahasia mengapa krisis multidimensi (baik akidah, ibadah, muamalah, moral, akhlak, dll.) yang menimpa umat ini tiada henti seolah-olah tanpa tepi. Tindak kejahatan di tengah masyarakat semakin dahsyat, seolah tidak bisa diakhiri. Bahkan setiap hari semakin bertambah kualitas dan kuantitas kejelekannya. Semua ini tidak lain karena sikap takut dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala telah menipis atau nyaris habis, melemah bahkan hampir punah.
Wahai saudaraku, semoga kita dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebenarnya janji kemuliaan dari Allah bagi orang-orang yang bertakwa sangat melimpah, baik di dunia terlebih di akhirat. Di dunia, hidupnya terbimbing, urusannya dipermudah, diberi rezeki dari arah yang tidak terduga nan penuh berkah. Adapun di akhirat kelak, pahalanya melimpah, meraih naungan ridha-Nya, di dalam al-Jannah (surga).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa di sisi Rabb mereka (disediakan) jannah yang penuh kenikmatan.” (Al-Qalam: 34)
Nasihat kedua adalah iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, niscaya kebaikan tersebut akan menghapusnya.
Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hal tersebut terbatas pada dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar akan terhapus dengan taubat yang tulus. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang seseorang terjerumus dalam perbuatan dosa dan kesalahan. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya lingkungan yang jelek, dorongan hawa nafsu yang tidak baik, dan bujuk rayu syaithan.
Wahai saudaraku, perlu diingat bahwa dosa yang kita perbuat akan berdampak negatif terhadap rezeki, kejiwaan dan seluruh keadaan, terlebih keimanan kita. Sungguh tiada musibah yang turun menimpa manusia kecuali karena sebab dosa. Musibah itu pun tidak akan dicabut kecuali dengan taubat dan istighfar. Allah lebih menyayangi hamba-Nya daripada sayangnya hamba terhadap dirinya sendiri. Di antara bentuk kasih sayang-Nya bahwa dosa seorang hamba bisa dihapus dan dampak negatif dari dosa bisa dihapus dengan kebaikan seperti shalat, sedekah, dan lain-lain jika itu dosa kecil. Sementara dosa besar akan terhapus dengan bertaubat dan istighfar.
Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, jangan putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang putus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. Sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, karena digoda syaithan, kemudian segera bertaubat kepada Allah, pasti dia akan mendapati-Nya Maha Pengampun lagi Penyayang. Bersegeralah untuk memperbaiki diri dengan melakukan amal kebaikan karena satu kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah menjadi sepuluh bahkan lebih.
Nasihat ketiga adalah berakhlaklah mulia dalam bergaul dengan sesama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang memiliki budi pekerti yang paling baik. Segala akhlak mulia dan perangai terpuji ada pada diri beliau. Sehingga kita diperintah untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari semua sisi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”(Al-Ahzab: 21) Karena akhlak mulia termasuk poros peradapan dalam kehidupan manusia, Islam telah menjunjung tinggi kedudukan akhlak mulia dan sangat besar perhatiannya. Banyaknya ayat dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar akhlak mulia, adalah bukti nyata atas pentingnya hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR al-Bukhari)
Baiknya akhlak adalah bukti atas baiknya keimanan seseorang. Pemiliknya akan memanen janji al-Jannah dan dekat tempat duduknya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat kelak.
Sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu berhias diri dengan akhlak yang mulia. Misalnya dengan silaturahmi, memaafkan kesalahan sesama, rendah hati, tidak sombong, serta bertutur kata yang lembut.
Wajah ceria ketika berjumpa dengan saudara, diiringi dengan salam dan senyuman, akan memunculkan suasana sejuk nan penuh keakraban, bahkan akan menebarkan kasih sayang dan menuai saling cinta dari sesama. Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “(Di antara) bentuk akhlak mulia adalah wajah yang selalu berseri, memberikan kebaikan, dan mencegah diri dari menyakiti orang lain.” Wahai saudaraku seiman, dengan mempraktikkan nasihat ini, kehidupan masyarakat, akan aman, serasi, harmonis, dan ketentraman akan terwujud.
Wallahu a’lamu bish shawab.
_______________
http://www.mahadassalafy.net/2012/05/tiga-nasihat-berharga.html