Berbagi Ilmu ~ Menyebar Sunnah

Berbagi Ilmu ~ Menyebar Sunnah

Seputar Cerai, Rujuk dan Masa Iddah

Fenomena kawin cerai seolah menjadi pemandangan biasa dalam kehidupan sosial masyarakat, bahkan boleh jadi semacam  gaya hidup, karna banyaknya public figur yang melakukannya. Namun apakah fenomena itu sudah dilandasi dengan pemahaman yang baik terhadap hukum-hukum syariat Seputar Cerai, Rujuk dan Masa Iddah???

Oleh karena itu pada kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum muslimin.

Talak (Perceraian)

Pembahasan Pertama: Pengertian talak

Talak secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya. (Al-mulakhos Al-Fiqhiy : 410)

Pembahasan Kedua: Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)

Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’)  jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ijma
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 411)

 Pembahasan Ketiga: Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan : “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 410)

Makruh
Talak yang hukumnya makruh yaitu ketika suami menjatuhkan thalaq tanpa ada hajat (alasan) yang menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan baik.

Haram
Talak yang hukumnya haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami menjatuhkan thalaq dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan thalaq ketika istri sedang dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan thalaq kepada istri pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.

Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya mubah yaitu ketika suami (berhajat) atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya. Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
 فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs. An-Nisa’ : 19)

Sunnah
Talak yang hukumnya sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman Allahsubhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)

Wajib
Talak yang hukumnya wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli istrinya lebih dari 4 bulan -ed.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis, bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan thalak teersebut. (Silahkan lihat Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, Fiqih Muyyasar dan yang lainnya)

Pembahasan Keempat: Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.
Talak hanya jatuh jika di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung talak. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucapakan dengannya, walaupun meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak di lakukan dan di ucapkan.” (HR. al-Bukhari : 5269 dan Muslim : 127) (Mulakhos Al-Fiqhy : 414)

 Pembahasan Kelima: Tentang Yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak sah jika dari suami yang baligh, berakal, mumayyiz, pilihan sendiri, atau orang yang mewakilinya. Talak  tidak jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang sangat sehingga menutup akalnya dan tidak sadar dengan apa yang di ucapkannya.”(Fiqih Muyyasar : 305)
Diantara dalilnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Diangkat pena dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia baligh, dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud:4450, at-Tirmidzi:1423 dan Ibnu Majjah:2041)

 Pembahasan Keenam: Apakah talak jatuh jika diucapkan dengan bercanda
Seseorang yang mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau “kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah rdhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya dianggap sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud 2129, at-Tirmidzi : 1184 dan Ibnu Majjah : 2039 dan dihasankan oleh syaikh al-Albani di Irwa’ : 1826)

 Pembahasan Ketujuh: Tentang Lafadz-lafadz talak
Talak bisa jatuh dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain dari talak. Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang semisalnya. Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai.
Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya, jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai talak, atau adanya qarinah (indikasi) yang menunjukkan pada maksud tersebut. Seperti suami mengatakan kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada keluargamu.” (silahkan lihat Minhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413, Fiqih Muyyasar).

Pembahasan Kedelapan: Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz
Talak bisa jatuh dengan munjazah (langsung) atau mu’alaqah (terikat dengan syarat)
Al-Munjazah : yaitu talak yang sejak dikeluarkan perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga seketika itu jatuhlah talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
Mu’allaqah: yaitu seseorang suami menjadikan jatuh talak tergantung pada syarat. Seperti perkataan suami kalau kamu tetap pergi ketempat itu kamu tertalak.

 Pembahasan Kesembilan: Tentang apakah talak jatuh jika dengan tulisan
Tulisan adalah sarana untuk mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati sebagaimana diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Maka talak dianggap jatuh (sah/terhitung) dengan tulisan walaupun dilakukan oleh orang yang bisa berbicara, ini pendapatnya jumhur (mayoritas) ulama. Tertulis dalam kitab Muhalla Ibnu Hazm perkataan: “Sungguh manusia berselisih pada permasalahan ini; telah diriwayatkan kepada kami dari an-Nakha’i, as-Sa’bi’ dan az-Zuhri apabila seorang menulis talak dengan tangannya maka talak sebuah keharusan (jatuh), dengannya al-Auza’i, Hasan bin Hay dan Ahmad bin Hambal berpendapat.” (al-Muhalla : 11/514) begitu juga yang difatwakan oleh Ibnu Baaz.

 Pembahasan Kesepuluh: Tentang seseorang yang Ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “apabila ragu-ragu akan jatuhnya talak, dan yang di inginkan dari ragu-ragu apakah terjadi talak darinya, atau ragu-ragu bilangan talak, atau ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
Apabila ragu-ragu telah jatuh talak darinya, maka istrinya tidaklah tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan pernikahannya dibangun diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena ragu-ragu.
Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan dalam talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya talak (cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah. Sesungguhnya dia tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana penjelasan yang lalu.
Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu tentang bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin terjadinya talak, adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan : 413).

Pembahasan Kesebelas: Tentang talak sunnah dan talak bid’ah
Pengertian talak sunnah dan talak bid’ah
Talak sunnah adalah talak yang terjadi sesuai dengan syar’i. Yaitu seorang suami menceraikan istrinya dengan ucapan satu kali talak dalam keadaan suci yang pada saat suci sang suami belum mencampurinya, dan membiarkannya serta tidak mengikuti dengan talak yang berikutnya sampai habis masa iddahnya.
Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya dalam bentuk yang haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali ucapan (lafadz). Atau mentalak istrinya dalam keadaan haid atau mentalak istrinya dalam keadaan suci namun setelah digauli yang tidak diketahui hamil tidaknya. Hukum talak seperti ini haram. (Fiqih Muyyasar : 305, Mulakhos Al-Fiqhy : 413).

Hukum talak sunnah dan talak bid’ah
Hukum talak sunnah : Para ulama sepakat bahwa talak sunnah jatuh sebagai talak.
Hukum talak bid’ah : diharamkan atas suami untuk mentalak dengan talak bid’ah, baik pada jumlah bilangan (sekaligus tiga –ed) atau pada waktu (ketika haid –ed). adapun dari sisi jatuh tidaknya talak, maka jatuh talaknya dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk merujuknya. tidaklah rujuk kecuali setelah terjadinya talak. (Silahkan lihat Fiqih Muyyasar : 305)

 Pembahasan Keduabelas: Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in
Seorang suami yang merdeka mempunyai kesempatan untuk menalak istri yang telah digaulinya sebanyak tiga kali. Para ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam

Talak Raj’i
Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya selama dalam masa iddah, tanpa tergantung persetujuan istrinya dan tanpa akad yang baru. Yaitu talak pertama dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah kapan saja dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk.

Talak bain
Talak bain ada dua macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang untuk rujuk kembali kepada istrinya. Jika ingin kembali dengan akad nikah yang baru dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain.
Yaitu terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah digauli (berhubungan suami istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal bagi suami untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (mantan istri -ed) atas persetujuan istri dan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah sedangkan kondisi seperti ini tidak ada masa iddahnya.

Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak ada kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Jika ingin kembali atas persetujuan istri (baca mantan istri -ed) dan dengan akad nikah yang baru. dan setelah mantan istrinya menikah dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah selesai.
Contoh talak tiga, seorang suami menalak istrinya, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu menalak lagi, kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya, lalu dia menalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.

 RUJUK

Pembahasan Pertama: Pengertian Rujuk
Rujuk adalah mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad.

 Pembahasan Kedua: Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma disyariatkan rujuk
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (Qs. Al-Baqarah : 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh dia merujuk kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau sedang hamil.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Ijma
Berkata Asy-Syaikh al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : berkata Ibnul Mundzir “Para ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka apabila mentalak yang bukan talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang bukan talak dua maka baginya ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulskhos Al-Fiqhiy : 416)

 Pembahasan Ketiga: Talak yang bisa dirujuk dan beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam masa iddah. Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk rujuk begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli.
Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa iddah. Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus berada pada rumah suaminya. Begitu juga haram hukumnya seorang istri yang tertalak dengan talak pertama atau kedua menawar-nawarkan dirinya untuk dinikai oleh orang lain dalam masa iddahnya, karena statusnya masih istri dari suaminya.

 Pembahasan Keempat: Tata cara rujuk
Rujuk adalah hak mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada syarat kerelaan istri. Tatacara merujuk harus sesuai syar’i:
Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak.
Prosesnya
-   Dengan ucapan, yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
-  Menggauli istrinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang benar. Oleh karena itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak raj’i tidak boleh menggaulinya tanpa niat rujuk.

 Pembahasan Kelima: Mempersaksikan talak dan rujuk
Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan hukumnya wajib, dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
Disyariatkan juga mengumumkan dan mempersaksiakan rujuk kepada dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapaun tentang hukumnya para ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan wajib, ada juga yang berpendapat sunnah, dan ini pendapatnya jumhur.

 IDDAH

Pembahasan Pertama : Pegertian iddah
Iddah adalah sebuah nama untuk jangka waktu tertentu  seorang istri menunggu setelah dicerai oleh suaminya, atau ditinggal mati oleh suaminya atau untuk memastikan kosongnya rahim.

 Pembahasan Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’aala berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)

Dalil dari Sunnah
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ
“Dari Miswar bin Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha mengalami nifas setelah di tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.” (HR. Bukahari : 5320)

 Pembahasan Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak hikmah disyariatkannya iddah, diantaranya:
-   Untuk memastikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab
-   Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila dia menyesal jika pada talak raj’i
-   Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat hamil.
- Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya.
- Memperlihatkan rasa sedih karena baru ditinggal mati suami. Jadi kalau wanita menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal. (silahkan lihat Mulakhos Fiqhiy, Syaikh Al-Fauzan : 419-420,  Fiqih Muyasar : 317)

 Pembahasan Keempat: Macam-macam iddah
Iddah dengan quru’
Iddah dengan beberapa bulan
Iddah dengan melahirkan

 Penjelasannya secara singkat.
Iddah dengan quru’ dalilnya Firman Allah Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ 
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228)
Para ulama berselisih pendapat tentang makna quru’.

Pendapat pertama: Quru’ adalah haidh ini pendapatnya para ulama dari kalangan madzhab Hanafi, dan para ulama dari kalangan madzhab Hanbali dalam satu riwayat.

Pendapat kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh. Ini pendapatnya para ulama dari kalangan madhzab Maliki, madzhab syafi’i dan madzhab Hanbali dalam riwayat yang lain.
Wallahu ta’aala a’lam bis shawwab adapun kami cenderung dengan pendapat yang pertama yang memaknai quru’ dengan haidh. Jadi macam iddah yang pertama dengan tiga kali haid.
Iddahnya dengan beberapa bulan
Dalilnya, firman Allah Ta’aala:
 وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللائِي لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Qs. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat ini memberlakukan iddah selama tiga bulan pada dua jenis wanita :
1. Wanita yang sudah memasuki usia menopause (tidak haid lagi)
2. Wanita yang belum pernah haidh karena masih kecil

Iddahnya dengan melahirkan
Masa iddah wanita yang hamil itu berakhir dengan melahirkan, sekalipun itu berlangsung hanya sebentar setelah perceraian. Dan hal ini berlaku bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya atau diceraikan. Tetapi bagi selain wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya masa iddahnya empat bulan sepuluh hari
Itu penjelasan sederhana lagi ringkas yang bisa kami bawakan disini dari kitab para ulama semoga bermanfaat. Wallahu Ta’aala A’lam bis Shawwab.


__________________________________
Abu Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarty
Sumber bacaan :
Minhajus Saalikiin Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos Al-Fiqhy Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih Muyyasar kumpulan para ulama
Dan yang lainnya
Artikel Nikahmudayuk.wordpress.com

Tag : Ilmu, Keluarga, Wanita
1 Comments for "Seputar Cerai, Rujuk dan Masa Iddah"

Back To Top